By Muhammad Dzikri Ahira Soefihara
Perkembangan teknologi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, mendorong pertumbuhan industri elektronik menjadi salah satu industri global terbesar. Perkembangan tersebut diiringi dengan meningkatnya permintaan dan penggunaan akan barang elektronik sehingga menghasilkan limbah elektronik dari end of life products dalam jumlah yang besar di seluruh dunia [1]. Limbah elektronik didefinisikan sebagai sampah dari perangkat elektronik yang telah rusak atau tidak dapat digunakan Kembali [1,2] dan tergolong kedalam bahan berbahaya dan beracun menurut Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 2020 [3]. Dua kategori utama dari limbah elektronik yaitu electronic waste dan electric waste ditunjukkan oleh Gambar 1 [4].
Gambar 1. Distribusi limbah elektronik [4].
Limbah elektronik adalah salah satu aliran limbah yang tumbuh paling cepat dan diperkirakan bahwa limbah tersebut sudah mencapai sekitar 8% dari keseluruhan limbah yang dihasilkan sektor publik [4]. Tingkat penimbunan limbah elektronik meningkat 10% setiap tahun (Sakunda, 2013) dan pada tahun 2016, jumlah limbah elektronik yang dihasilkan secara global telah mencapai 44,7 juta metrik ton (Mt) yang memiliki 24,4% pertumbuhan selama lima tahun terakhir. Menurut laporan monitor limbah elektronik yang diterbitkan oleh United Nations University (UNU), hanya 20% limbah elektronik yang dihasilkan di dunia dikumpulkan dan didaur ulang melalui jalur formal pada tahun 2016 [5].
Limbah elektronik mengandung zat berbahaya yang dapat menimbulkan resiko kerusakan lingkungan dan kesehatan yang ditimbulkan oleh kandungan logam berat seperti Pb, Hg, Cd, dan C serta flame retardants [4]. Hal ini menunjukkan semakin besar jumlah limbah elektronik (e-waste) yang dihasilkan, makan akan semakin tinggi juga resiko bahaya dan toksisitas pada manusia dan lingkungan. Untuk mencegah resiko tersebut, setiap perangkat elektronik yang telah melewati batas masa pakai atau tidak dapat digunakan kembali, perlu dikumpulkan dan didaur ulang dengan cara yang tepat. Terlepas dari bahan berbahaya tersebut, limbah elektronik juga mengandung material yang sangat berharga untuk dapat diperoleh kembali seperti emas dan perak sehingga mendorong pendaur ulang untuk memanfaatkan peluang tersebut. Printed Circuit Boards (PCBs) merupakan jenis e-waste yang memiliki nilai ekonomi paling tinggi dan memiliki porsi sekitar 3–5% dari total keseluruhan e-waste. Sebesar 43% dari total produksi emas di dunia digunakan untul produk elektronik [4]. Pada Gambar 2 ditunjukkan kandungan senyawa yang terdapat dalam PCBs [4].
Gambar 2. Kandungan logam limbah elektronik berasal dari printed circuit boards [4]. Beberapa kandungan lainnya adalah Hg, Ba, Cd, As, dan flame retardants.
Konsentrasi logam yang terdapat dalam e-waste mencapai 40-800 kali lipat dari jumlah kandungan emas dalam bijih emas (Au), dan 30-40 kali lipat dari jumlah kandungan tembaga (Cu) dalam bijih Cu yang ditambang di Amerika Serikat [4]. Secara global, 267,3 ton Au dan 7.275 ton Ag dikonsumsi setiap tahun oleh industri elektronik[4]. Konsentrasi logam mulia seperti Au dan Cu dalam limbah PCBs yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan logam tersebut dalam bijih mineral menjadikan daur ulang limbah elektronik menjadi sangat penting baik dari sudut pandang ekonomi maupun lingkungan.
Limbah Elektronik di Indonesia
Salah satu penelitian menunjukkan, berdasarkan metode Material Flow Analysis (MFA), akumulasi limbah elektronik yang dihasilkan dari rumah tangga di Indonesia pada tahun 2025 dapat mencapai 622.000 ton [9]. Berdasarkan model MFA tersebut, total limbah elektronik yang dihasilkan (2015-2025) diperkirakan mencapai 3,75–4,98 juta ton. Pada tahun 2015, televisi diperkirakan menjadi jenis limbah elektronik terbesar (37%) [10]. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa rata-rata laju pertumbuhan e-waste di Indonesia adalah 14,91% setiap tahunnya. Potensi pertumbuhan sampah elektronik ini harus didukung dengan pengolahan limbah elektronik yang tepat guna untuk mencegah potensi pencemaran lingkungan.
Keterlibatan pemerintah dalam pengelolaan limbah elektronik (e-waste) diperlukan untuk mempercepat proses pengelolaan dan pengolahan limbah elektronik. Benua Asia, sebagai penghasil limbah elektronik terbesar (40,7%) [5], belum sepenuhnya mempunyai regulasi yang mengatur mengenai limbah elektronik. Indonesia merupakan salah satu negara di Asia yang tergolong rendah dalam mengatur permasalahan limbah elektronik [5]. Hal ini ditunjukkan dengan kurangnya data mengenai limbah elektronik sehingga ketiadaan data statistik secara real time akan menimbulkan masalah di masa mendatang. Rendahnya penerapan teknologi mengenai pengelolaan limbah elektronik di Indonesia menciptakan peluang untuk pengumpulan dan daur ulang limbah elektronik berbasis informal seperti industri rumahan.
Tidak adanya mekanisme pembuangan dan daur ulang yang tepat ditambah dengan kesadaran konsumen yang rendah tentang pengolahan limbah elektronik, telah menempatkan Indonesia sebagai negara yang berada pada posisi terendah dalam mekanisme pengumpulan, infrastruktur pengolahan dan penanganan limbah elektronik, menurut Regional E-waste Monitor Report tahun 2017 [7]. Berdasarkan permasalahan tersebut, diperlukan upaya dalam mendorong proses end-to-end sistem pengelolaan limbah elektronik (e-waste) untuk meningkatkan kualitas mekanisme pengumpulan dan pengolahan. Pada tahap pengumpulan, peningkatan kesadaran konsumen terhadap bahan berbahaya di limbah elektronik (e-waste) akan menjadi sangat penting. Partisipasi berbasis komunitas dalam pengumpulan sampah elektronik skala rumah tangga secara sukarela dan proses transaksi limbah elektronik dalam skala industri (B2B) merupakan alternatif untuk mekanisme pengumpulan limbah elektronik. Keduanya membutuhkan regulasi formal dalam memantau dan melacak aliran bahan limbah agar dapat diproses lebih lanjut dengan baik dengan tetap memperhatikan aspek lingkungan.
Gambar 3. Tempat pengolahan limbah elektronik berbasis informal/rumahan (kiri) dan emas yang dihasilkan (kanan). (Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Pengolahan Limbah Elektronik
Beberapa metode pengolahan dapat dilakukan untuk memperoleh kembali logam berharga dari limbah elektronik, salah satunya adalah melalui dengan jalur hidrometalurgi [8]. Hidrometalurgi adalah proses ekstraksi logam melalui jalur pelindian menggunakan larutan kimia. Tahap pertama dalam pengolahan limbah elektronik adalah pemilahan sampah elektronik yang dapat diolah lebih lanjut sesuai dengan karakteristiknya masing-masing. Barang elektronik disortir untuk mendapatkan bagian dari limbah elektronik yang dapat untuk diolah sesuai dengan kapasitas alat. Selanjutnya, proses pembongkaran dilakukan dengan cara desoldering atau pemanasan untuk memisahkan komponen elektronik dari limbah elektronik. Selanjutnya, sampah elektronik melalui proses penghancuran dan pemisahan untuk dapat diproses secara selektif pada tahap pelindian dan pemurnian. Pengecilan ukuran terdiri dari penghancuran dan penggilingan dengan menggunakan shredder dan blade atau hammer mill untuk menghasilkan material berukuran 2-5 mm. Selanjutnya, proses pemisahan yang dapat dilakukan adalah pemisahan densitas, untuk memisahkan bahan plastik, dan pemisahan berbasis magnetik atau elektrostatik untuk memisahkan logam besi dan non besi. Tahap terakhir yaitu proses hidrometalurgi yang terdiri dari tahap pelindian dengan menggunakan reagen seperti asam nitrat dan aqua regia dan selanjutnya proses electrowinning untuk memurnikan logam hasil pelindian. Setiap logam padat selanjutnya akan dicetak setelah melalui proses peleburan.
Gambar 4 Diagram alir pengolahan limbah elektronik dengan jalur hodrometalurgi.
Industri limbah elektronik telah berkembang di sebagian negara eropa seiring dengan urgensi yang diterapkan melalui United Nations melalui Sustainable Development Goals. Salah satu perusahaan yang telah menjadi pioneer dalam pengolahan limbah elektronik adalah Umicore, dengan smelter terintegrasi yang memiliki kapasitas daur ulang limbah elektronik terbesar. MGG, Elden, Daimler Benz, NEC, Dowa, Sepro, Shanghai Xinjinqiao, SwissRTec, WEEE Metallica, Hellatron, Aurubis, Attero, Noranda, dan Rönnskar adalah perusahaan aktif lainnya yang juga melakukan pengolahan di bidang limbah elektronik [8]. Negara Asia yang didominasi oleh negara berkembang memiliki potensi yang besar untuk dapat berkontribusi dalam mengolah limbah elektronik yang tergolong dalam limbah berbahaya.
Daur ulang limbah elektronik merupakan tanda kontribusi terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan yang diinisiasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Limbah elektronik dan pengelolaannya diintegrasikan dalam program Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) untuk menangani limbah, sumber daya, dan circular economy [5]. Beberapa poin penting yang tercakup dalam dokumen panduan OECD, termasuk tentang Extended Producer Responsibility, adalah pengelolaan limbah yang berwawasan lingkungan. Mendaur ulang 1 juta laptop menghemat energi yang setara dengan listrik yang digunakan oleh 3.657 rumah selama setahun [4]. Inisiatif global telah muncul di seluruh dunia yang perlu diadaptasi sepenuhnya di negara berkembang seperti Indonesia. Circular economy harus diterapkan untuk tetap menutup lingkaran dari life cycle materials dengan mengolah kembali end of life products dimana limbah elektronik diperlakukan sebagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan. Munculnya PP No. 27 tahun 2020 [3] yang mengatur mengenai pengelolaan sampah spefisik, yang didalamnya mengatur mengenai sampah elektronik, dapat menjadi dasar acuan serta inisiasi yang baik untuk sinergisasi produsen, konsumen, pemerintah, dan pelaku pengolahan untuk sama sama menyelesaikan permasalahan lingkungan yang ditimbulkan dari limbah elektronik.
Referensi:
[1] Frazzoli, C., Orisakwe, O. E., Dragone, R., & Mantovani, A. (2009). Diagnostic health risk assessment of electronic waste on the general population in developing countries’ scenarios. Environmental Impact Assessment Review.
[2] Grant, K., Goldizen, F. C., Sly, P. D., Brune, M.-N., Neira, M., Berg, M. v., & Norman, R. E. (2013). Health consequences of exposure to e-waste: a systematic review. Lancet Glob Health 2013, 1: e350–61.
[3] Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Sampah Spesifik.
[4] Kaya, M. (2016). Recovery of metals and nonmetals from electronic waste by physical and chemical recycling processes. Waste Management.
[5] Baldé, C., Forti, V., Gray, V., Kuehr, R., & Stegmann, P. (2017). The Global E-waste Monitor – 2017. Bonn/Geneva/Vienna: United Nations.
[6] Perkins, D. N., BS, M.-N. B., Tapiwa Nxele, M., & Peter D. Sly, M. (2014). E-Waste: A Global Hazard. Annals of Global Health, 80:286-295.
[7] Honda, S., Khetriwal, D. S., & Kuehr, R. (2016). Regional E-waste Monitor: East and Southeast Asia. Bonn: United Nations University & Japanese Ministry of the Environment.
[8] Kaya, M. (2019). Electronic Waste and Printed Circuit Board Recycling Technologies. Cham, Switzerland: Springer.
[9] Rochman, F. F., Ashton, W. S., & Mochamad. (2016). E-waste, money and power: Mapping electronic waste flows in Yogyakarta. Environmental Development.
[10] Andarani, P., & Goto, N. (2013). Potential e-waste generated from households in Indonesia using material flow analysis. Springer Japan.